terça-feira, 29 de maio de 2012

Pusat Kota Lama, Kecamatan Venilale



Kecamatan Venilale, Baucau
Saya harus akui alasan dari ketertarikan saya ke bangunan yang cukup besar ini karena “keanehan” dari lokasi dan konteksnya: hangus dan habis dilumuti, dan berada di tengah-tengah lapangan dan lingkungan yang damai.
Kepergian militer Jepang di tahun 1945 setelah menduduki Timor Leste selama tiga tahun, menghasilkan suatu kekosongan kekuasaan yang langsung diisi kembali oleh militer Portugis. Menyadari pentingnya stabilitas di tanah jajahannya, mereka secepatnya memerintahkan pembangunan gedung yang diperuntukan sebagai kantor Kepala Camat dan titik pusat dari desa-desa di Venilale ini.
(video di akhir tulisan)

Kepala dari ke lima desa tersebut akhirnya membentuk suatu sistem berputar dan menyuruh warganya untuk membantu membangun gedung ini. Bahan bangunan yang digunakan adalah semen, batu, dan abu, dikarenakan buruknya akses ke bahan bangunan lainnya. Setelah beberapa tahun selepas selesainya konstruksi di tahun 1956, bangunan ini juga berfungsi sebagai rumah tamu (guesthouse) untuk tamu-tamu kehormatan.
Di tahun 1975, para anggota dari partai politik Fretilin menggunakan bangunan ini sebagai markas komando mereka untuk melancarkan pertempuran mereka melawan partai politik Timor Leste di Distrik Baucau yang lainnya. Mereka sempat menahan 25 anggota partai UDT dan APODETI di penjara selama sekitar 100 hari.
Pada tanggal 7 Desember 1975, militer Indonesia yang baru tiba langsung mengambil alih gedung ini dari Fretilin, dan menggunakannya sebagai markas mereka untuk memburu gerilyawan Fretilin. Ini terus berlanjut sampai tahun 1999 ketika referendum nasional memilih militer Indonesia untuk keluar dari Timor Leste. Gosong hitamnya kulit bangunan ini disebabkan oleh pembakaran yang dilakukan pada saat militer Indonesia keluar dari Timor Leste (harap dicatat bahwa ini belum tentu di lakukan oleh militer Indonesia).
Bagaimanapun juga, warga Venilale cukup menghargai keberadaan bangunan ini, terutama pada saat-saat yang stabil ketika bangunan ini berfungsi sebagai pusat aktifitas daerah. Pengaruh arsitektur Portugis di bangunan ini juga menambah sedikit gaya ke lingkungan perumahan sekitar. Anak-anak pun suka menghabiskan waktu bermainnya di sekitar gedung ini. Karena ini lah para warga lokal merasa kecewa karena bangunan ini sekarang terlihat (dan memang) terlantarkan.
Walaupun begitu, masih ada pengunjung (turis) ke Venilale yang tertarik untuk mempelajari sejarah dari bangunan ini, dan ini adalah bukti dari pentingnya keberadaan bangunan ini ke masyarakat Venilale di abad terakhir.
Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Aleixo Ximenes untuk ceritanya.
*Ke lima desa tersebut adalah: Uatu-Haco, Bado-Ho’o, Badomori, Uai-Oli, dan Fatulia.(Old) Town Centre
Venilale Subdistrict, Baucau
I have to say that I was intrigued by this relatively large sized building because of its seemingly out of place existence: burned and fully covered in moss with an open field surrounding the building, smack bang in a rather peaceful neighborhood.
The departure of the Japanese military in 1945, after occupying East Timor for three years, created a power vacuum that was almost immediately filled by the returning Portuguese. The returning occupier, who realized the need for stability, quickly ordered for the construction of this building which was intended to serve as the head of the sub district’s (known as camat) office and a centre of the sprawling villages in Venilale.
(short video after the jump)

The chiefs of each of the five villages* then set up a rotating system and marshaled their residents to help build the building. Due to the lack of proper construction material, cement, stone and ash were used. Several years after its completion, in 1956, this building also served as a guesthouse for honored visitors.
In 1975, members of the Fretilin political party used this building as a base commando (markas komando) to stage its own fight against other Timorese political parties in the district of Baucau. They were able to hold around 25 members of the UDT and APODETI in a jail for around 100 days.
However, towards the end of the year on 7 December 1975, the recently arriving Indonesians wrested the control of the building from the Fretilin, and used it as their base commando to hunt for guerillas. This was to go on until 1999 when the referendum voted the Indonesian military out of East Timor. The black mark on the building is because the building was torched as the Indonesians made their exit (it must be said, however, it may have not been done by the Indonesians).
Those bloody incidents aside, the residents of Venilale regarded this building quite highly for it was the centre of activity when there was some relative stability in the country. The Portuguese-influenced architecture of the building also adds a little flavor to the neighborhood and children used to play nearby during the Indonesian occupation. Thus the local residents are dismayed that this building is now unused and is left deserted.
There are still visitors to Venilale who take interest in the building’s history and it is a testament of this building’s significance to the life of the residents of Venilale in the past century.
We would like to thank Mr. Aleixo Ximenes for the story.
*The five villages are: Uatu-Haco, Bado-Ho’o, Badomori, Uai-Oli and Fatulia village.

Sem comentários: